Thursday, May 10, 2007

Danau Toba, Nasibmu Kini…




Setiap kali mata memandang, Danau Toba memang selalu mampu, paling tidak memberi makna keindahan. Inilah lukisan alam anugerah Sang Penguasa. Sebenarnya ini adalah mutiara. Hanya saja, ketidakpedulian kita seakan-akan membuat ia merana.
Danau Toba terbentuk dari letusan sebuah gunung berapi. Puncak gunung tersebut runtuh dan terjadilah Danau Toba. Sebagian reruntuhan itu menjadi Pulau Samosir. Peristiwa alam membuat kawasan itu menjadi indah. Danau seluas 6,60 kilometer persegi itu dikelilingi dinding-dinding bukit yang menjulang tinggi hingga 480 meter di atas permukaan laut.
Bukit di sebelah tenggara dan timur disebut Bukit Habinsaran dan Simanukmanuk. Dinding itu memisahkan Uluan dan pantai timur Sumatera. Uluan merupakan daerah perbukitan tinggi yang di bawahnya terdapat Toba Holbung atau Lembah Toba. Di kawasan ini terdapat lahan pertanian yang subur dan berpenduduk padat. Kawasan ini terletak di antara Porsea dan Balige.
Panorana alam Lumban Silintong, misalnya. Lokasi wisata yang berada di Kabupaten Toba Samosir, Balige, ini ternyata menyimpan potensi yang bisa dijual. Mengapa begitu optimis untuk menjualnya?
Sejauh ini Kabupaten berpenduduk 169.577 jiwa ini masih dikenal miskin. Bayangkan pertumbuhan ekonominya belum mampu mencapai 1 trilliun. Sementara 80 persen penduduk kehidupan mereka bersumber dari sektor pertanian. Maka, sifat optimis pemerintah setempat sangat perlu dalam pengembangan sektor ini.
Benarkan Bali hanya dikenal lewat panorama alam Pantai Kute? Keberhasilan mereka pastinya juga didukung oleh banyak aspek yang tak kalah penting, budaya, keramahtamahan, dan segala aspek yang memungkinkan untuk mengundang minat pelancong untuk datang keduakalinya.
Danau Toba yang Minim Polesan
Pada dekade sebelumnya semarak dunia pariwisata Bona Pasogit (wilayah Tapanuli Utara dan sekitarnya–red) masih akrab disuguhi dengan sajian-sajian budaya khas daerah setempat. Dan tentu saja, ini merupakan daya tarik tersendiri melihat pada hakikatnya nilai keindahan dan kenikmatan sebuah sajian wisata sebenarnya bukan terletak hanya pada bentangan keindahan alamnya saja. Budaya yang berbau khas sebenarnya juga merupakan aset bernilai tinggi.
Ini sudah menjadi sesuatu yang langka ditemui dalam gejolak perpariwisataan Bona Pasogit. “Sebenarnya kendalanya bukan pada kemampuan dan ketidaktersediaan sarana untuk memenuhi sajian budaya itu. Bumi Tobasa sebenarnya masih menyimpan ‘sejuta’ kekayaan budaya yang layak dijual untuk pengembangan pariwisata.
Hanya saja maukah kita? Sebaliknya inilah yang terjadi, tidak adanya political will dari pemerintah setempat maupun dukungan masyarakat.” Seperti yang diungkapkan Kabid Litbang dan Evaluasi Pelaporan Bappeda Kabupaten Tobasa Sunggul Tanpubolon memberi komentar seputar permasalahan ini.
Kekhasan budaya yang dimiliki masyarakat Bona Pasogit saat ini sebenarnya mengalami keterpurukan. Misalnya, sejauh ini tarian “tor-tor” hanya dilaksanakan pada acara-acara adat saja. Pada masa silam, masyarakat Bona Pasogit juga masih sering dimanjakan dengan hiburan “opera Batak” yang menampilkan cerita-cerita Suku Batak dan menyimpan pesan moral khususnya bagi kaum muda. Sekarang sajian hiburan seperti ini sudah langka. Akibatnya, orang-orang setempat pun akhirnya lebih memilih hiburan lain.
Seperti yang dikatakan Sunggul, Tobasa sebenarnya bukan tidak memiliki orang-orang yang mahir dalam pertunjukan opera Batak, hanya saja masalahnya terletak pada ketidak adanya kemauan, terutama antusiasme pemerintah. “Bah, sampai kapan kita menunggu?.”Prinsip “Sude Do Raja”
Sajian wisata panorama Lumban Silintong, misalnya, jika dilihat dari segi aspek fasilitas untuk menikmati lukisan alam Danau Toba sebenarnya sudah memadai. Pada tepi-tepi danau barangkali kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan lokasi yang pas dan aman untuk bersantai dan memanjakan mata kita untuk menikmati karunia Tuhan itu. Sekaligus ditambah dengan sajian yang membuat lidah kita bergoyang dengan sajian khas ikan bakar. Jika doyan memancing, di beberapa tempat ini juga sangat pas. Beberapa gubuk-gubuk pemancingan juga tersedia.
Sama halnya dengan lokasi wisata lainnya. Seperti Parapat Danau Toba, misalnya. Di lokasi danau yang terbentuk dari letusan Gunung Toba, terletak 905 meter di atas permukaan laut dengan keliling 294km, luas permukaan danau 1.100 km² dengan kedalaman maksimum 529 meter ini, pelancong juga serasa dimanjakan dengan tersedianya gubuk-gubuk kecil untuk beristirahat dan menatap luas hamparan air tawar yang luas membentang. Selain itu juga tersedia sarana penginapan dengan aneka variasi kelas, yang tentu saja disesuaikan dengan ketersediaan kocek.
Demikian juga halnya dengan panorama alam Tuktuk Siadong di Kecamatan Ambarita Kabupaten Samosir. Ini bukan berita baru lagi, bahwa Samosir diprioritaskan menjadi kawasan wisata andalan Sumatera Utara sejak kabupaten seluas 1.419,05km2 ini dimekarkan pada tahun 2003.
“Apa yang membuat wisata Parapat Danau Toba, begitu juga kawasan lainnya merosot jika dari jumlah pengunjung dari tahun ke tahun, ialah karakter masyarakat setempat yang menganut prinsip ‘sude do raja’ (semua raja),” Seperti dikatakan Ketua DRRD Kabupaten Simalungun Syahmidun S Sos.
Masyarakat Bona Pasogit masih terikat oleh sejarah yang menyangkutpautkan dirinya dengan budaya lama. Misalnya, pada masa silam mereka, khususnya mereka yang berkecimpung dalam bisnis pariwisata, tidak sedikit dari mereka merupakan keturunan raja. Bukti lain juga tersirat dari marga yang mereka lekatkan pada nama mereka yang tidak sedikir memakai embel-embel “raja” di belakangnya. Ini masih sangat sulit untuk dilepas dari mereka.
Akibatnya, mereka tidak bisa memposisikan diri mereka sebagai pelayan karena sudah terbiasa dilayani. Dampaknya, pelancong sering mengurungkan niatnya untuk datang keduakalinya. “Singkatnya, masyarakat setempat masih sulit untuk memposisikan dirinya sebagai “pelayan”.
Ini sudah terbukti. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan pengelolaan dan perkembangan pariwisata lain di Tanah Air. Benarkan kemerosotan bisnis pariwisata Sumatera Utara khususnya Danau Toba hanya dilatarbelakangi oleh krisis BBM yang melanda negara kita atau ketidakterjaminan keamanan bagi para pelancong? Ini perlu dicermati.
Manusia sangat membutuhkan ketenangan di kala realitas kehidupan saat ini yang penuh dengan kesibukan dan tanggunjawab. Mereka butuh kedamaian lewat sajian hiburan dan wisata. Mereka butuh ketenangan dan yang paling utama mereka ingin dilayani setelah sibuk “melayani” dan penat dalam segala kesibukan urusan pekerjaaan, khususnya bagi masyarakat urban.

http://tonggo.wordpress.com/

No comments: