Friday, May 11, 2007

Lake Toba



Lake Toba

Lake Toba, Indonesia
Coordinates 2°37′N, 98°49′E
Lake type Volcanic/ tectonic
Primary outflows Asahan River
Basin countries North Sumatra, Indonesia
Max length :100 km
Max width :30 km
Surface area :1130 km²
Max depth :505 m[1]
Water volume :240 km³
Surface elevation :905 m
Islands Samosir
Lake Toba (Indonesian: Danau Toba) is a large lake, 100 km long and 30 km wide, in the middle of the northern part of the Indonesian island of Sumatra with a surface elevation of about 900 m (3000 feet), stretching from 2.88° N 98.52° E to 2.35° N 99.1° E.


Geology


In 1949 the Dutch geologist Rein van Bemmelen reported that Lake Toba was surrounded by a layer of ignimbrite rocks, and that it was a large volcanic caldera. Later researchers found rhyolite ash similar to that in the ignimbrite around Toba (now called Young Toba Tuff to distinguish it from layers deposited in previous explosions) in Malaysia and India, 3000 km away. Oceanographers discovered Toba ash, with its characteristic chemical "fingerprint", on the floor of the eastern Indian Ocean and the Bay of Bengal.
The eruption

Location of Lake Toba shown in red on map.
The Toba eruption (the Toba event) occurred at what is now Lake Toba about 71,500 ± 4000 years ago. It had an estimated Volcanic Explosivity Index of 8 (described as "mega-colossal"), making it possibly the largest volcanic eruption within the last two million years. Bill Rose and Craig Chesner of Michigan Technological University deduced that the total amount of erupted material was about 2800 cubic km (670 cubic miles) — around 2000 km³ of ignimbrite that flowed over the ground and around 800 km³ that fell as ash, with the wind blowing most of it to the west. By contrast, the 1980 eruption of Mount St. Helens ejected around 1 cubic km of material, whilst the largest volcanic eruption in historic times, at Mount Tambora in 1815, emitted the equivalent of around 100 cubic kilometres of dense rock and created the "Year Without a Summer" as far away as North America.
The Toba eruption was the latest of a series of at least three caldera-forming eruptions which have occurred at the volcano. Earlier calderas were formed around 700,000 and 840,000 years ago.[2]
To give an idea of its magnitude, consider that although the eruption took place in Indonesia, it deposited an ash layer approximately 15 cm (6 in) thick over the entire Indian subcontinent; at one site in central India, the Toba ash layer today is up to 6 m (20 feet) thick[3] and parts of Malaysia were covered with 9 m of ashfall.[4] In addition it has been calculated that 1010 metric tons of sulphuric acid was ejected into the atmosphere by the event, causing acid rain fallout.[5]

The subsequent collapse formed a caldera that, after filling with water, created Lake Toba. The island in the southern part of the lake is formed by a resurgent volcanic dome.
Though the year can never be precisely determined, paradoxically the season can: only the summer monsoon could have deposited Toba ashfall in the South China Sea, implying that the eruption took place sometime during the northern summer.[6] The eruption lasted perhaps two weeks, but the ensuing "volcanic winter" resulted in a decrease in average global temperatures by 3 to 3.5 degrees Celsius for several years. Greenland ice cores record a pulse of starkly reduced levels of organic carbon sequestration. Very few plants or animals in southeast Asia would have survived, and it is possible that the eruption caused a planet-wide die-off. There is some evidence, based on mitochondrial DNA, that the human race may have passed through a genetic bottleneck within this timeframe, reducing genetic diversity below what would be expected from the age of the species. According to the Toba catastrophe theory proposed by Stanley H. Ambrose of the University of Illinois at Urbana-Champaign in 1998, human populations may have been reduced to only a few tens of thousands of individuals by the Toba eruption.


More recent activity

Children playing in Lake Toba
Smaller eruptions have occurred at Toba since. The small cone of Pusukbukit has formed on the southwestern margin of the caldera and lava domes. The most recent eruption may have been at Tandukbenua on the northwestern caldera edge, since the present lack of vegetation could be due to an eruption within the last few hundred years.[7]
Some parts of the caldera have experienced uplift due to partial refilling of the magma chamber, for example pushing Samosir Island and the Uluan Peninsula above the surface of the lake. The lake sediments on Samosir Island show that it has been uplifted by at least 450 metres[8] since the cataclysmic eruption. Such uplifts are common in very large calderas, apparently due to the upward pressure of unerupted magma. Toba is probably the largest resurgent caldera on Earth. Large earthquakes have occurred in the vicinity of the volcano more recently, notably in 1987 along the southern shore of the lake at a depth of 11 km.[9] Other earthquakes have occurred in the area in 1892, 1916, and 1920-1922.[10]
Lake Toba lies near a fault line which runs along the centre of Sumatra called the Sumatra Fracture Zone.[11] The volcanoes of Sumatra and Java are part of the Sunda Arc, a result of the northeasterly movement of the Indo-Australian Plate which is sliding under the eastward-moving Eurasian Plate. The subduction zone in this area is very active: the seabed near the west coast of Sumatra has had several major earthquakes since 1995, including the 9.3 2004 Indian Ocean Earthquake and the 8.7 2005 Sumatra earthquake, the epicenters of which were around 300 km from Toba.


People

Toba House
Most of the people who live around Lake Toba are ethnically Bataks. Traditional Batak houses are noted for their distinctive roofs (which curve upwards at each end, as a boat's hull does) and their colorful decor.
From Wikipedia, the free encyclopedia

LAKE TOBA ECO TOURISTM SPORT 2007


LAKE TOBA ECO TOURISTM SPORT 2007 - 2007/03/10 10:22 Akhir mei awal juni 2007 akan diselenggarakan LAKE TOBA ECO TOURISTM SPORT 2007 DI PARAPAT SUMUT. Pordirga A/M FASIDA SUMUT akan mengadakan exhibisi Demo A/M,Bazaar A/M,pelatihan A/M yang akan di handle oleh DISPOTDIRGA MABES TNI AU.
Info lebih lanjut Agus So e
Tlp.081578383831
Email : medan_aero_club@yahoo.com

Thursday, May 10, 2007

Danau Toba



Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik sebesar 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengahnya terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Asal-usul
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3 abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar ribuan saja.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Danau Toba, Nasibmu Kini…




Setiap kali mata memandang, Danau Toba memang selalu mampu, paling tidak memberi makna keindahan. Inilah lukisan alam anugerah Sang Penguasa. Sebenarnya ini adalah mutiara. Hanya saja, ketidakpedulian kita seakan-akan membuat ia merana.
Danau Toba terbentuk dari letusan sebuah gunung berapi. Puncak gunung tersebut runtuh dan terjadilah Danau Toba. Sebagian reruntuhan itu menjadi Pulau Samosir. Peristiwa alam membuat kawasan itu menjadi indah. Danau seluas 6,60 kilometer persegi itu dikelilingi dinding-dinding bukit yang menjulang tinggi hingga 480 meter di atas permukaan laut.
Bukit di sebelah tenggara dan timur disebut Bukit Habinsaran dan Simanukmanuk. Dinding itu memisahkan Uluan dan pantai timur Sumatera. Uluan merupakan daerah perbukitan tinggi yang di bawahnya terdapat Toba Holbung atau Lembah Toba. Di kawasan ini terdapat lahan pertanian yang subur dan berpenduduk padat. Kawasan ini terletak di antara Porsea dan Balige.
Panorana alam Lumban Silintong, misalnya. Lokasi wisata yang berada di Kabupaten Toba Samosir, Balige, ini ternyata menyimpan potensi yang bisa dijual. Mengapa begitu optimis untuk menjualnya?
Sejauh ini Kabupaten berpenduduk 169.577 jiwa ini masih dikenal miskin. Bayangkan pertumbuhan ekonominya belum mampu mencapai 1 trilliun. Sementara 80 persen penduduk kehidupan mereka bersumber dari sektor pertanian. Maka, sifat optimis pemerintah setempat sangat perlu dalam pengembangan sektor ini.
Benarkan Bali hanya dikenal lewat panorama alam Pantai Kute? Keberhasilan mereka pastinya juga didukung oleh banyak aspek yang tak kalah penting, budaya, keramahtamahan, dan segala aspek yang memungkinkan untuk mengundang minat pelancong untuk datang keduakalinya.
Danau Toba yang Minim Polesan
Pada dekade sebelumnya semarak dunia pariwisata Bona Pasogit (wilayah Tapanuli Utara dan sekitarnya–red) masih akrab disuguhi dengan sajian-sajian budaya khas daerah setempat. Dan tentu saja, ini merupakan daya tarik tersendiri melihat pada hakikatnya nilai keindahan dan kenikmatan sebuah sajian wisata sebenarnya bukan terletak hanya pada bentangan keindahan alamnya saja. Budaya yang berbau khas sebenarnya juga merupakan aset bernilai tinggi.
Ini sudah menjadi sesuatu yang langka ditemui dalam gejolak perpariwisataan Bona Pasogit. “Sebenarnya kendalanya bukan pada kemampuan dan ketidaktersediaan sarana untuk memenuhi sajian budaya itu. Bumi Tobasa sebenarnya masih menyimpan ‘sejuta’ kekayaan budaya yang layak dijual untuk pengembangan pariwisata.
Hanya saja maukah kita? Sebaliknya inilah yang terjadi, tidak adanya political will dari pemerintah setempat maupun dukungan masyarakat.” Seperti yang diungkapkan Kabid Litbang dan Evaluasi Pelaporan Bappeda Kabupaten Tobasa Sunggul Tanpubolon memberi komentar seputar permasalahan ini.
Kekhasan budaya yang dimiliki masyarakat Bona Pasogit saat ini sebenarnya mengalami keterpurukan. Misalnya, sejauh ini tarian “tor-tor” hanya dilaksanakan pada acara-acara adat saja. Pada masa silam, masyarakat Bona Pasogit juga masih sering dimanjakan dengan hiburan “opera Batak” yang menampilkan cerita-cerita Suku Batak dan menyimpan pesan moral khususnya bagi kaum muda. Sekarang sajian hiburan seperti ini sudah langka. Akibatnya, orang-orang setempat pun akhirnya lebih memilih hiburan lain.
Seperti yang dikatakan Sunggul, Tobasa sebenarnya bukan tidak memiliki orang-orang yang mahir dalam pertunjukan opera Batak, hanya saja masalahnya terletak pada ketidak adanya kemauan, terutama antusiasme pemerintah. “Bah, sampai kapan kita menunggu?.”Prinsip “Sude Do Raja”
Sajian wisata panorama Lumban Silintong, misalnya, jika dilihat dari segi aspek fasilitas untuk menikmati lukisan alam Danau Toba sebenarnya sudah memadai. Pada tepi-tepi danau barangkali kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan lokasi yang pas dan aman untuk bersantai dan memanjakan mata kita untuk menikmati karunia Tuhan itu. Sekaligus ditambah dengan sajian yang membuat lidah kita bergoyang dengan sajian khas ikan bakar. Jika doyan memancing, di beberapa tempat ini juga sangat pas. Beberapa gubuk-gubuk pemancingan juga tersedia.
Sama halnya dengan lokasi wisata lainnya. Seperti Parapat Danau Toba, misalnya. Di lokasi danau yang terbentuk dari letusan Gunung Toba, terletak 905 meter di atas permukaan laut dengan keliling 294km, luas permukaan danau 1.100 km² dengan kedalaman maksimum 529 meter ini, pelancong juga serasa dimanjakan dengan tersedianya gubuk-gubuk kecil untuk beristirahat dan menatap luas hamparan air tawar yang luas membentang. Selain itu juga tersedia sarana penginapan dengan aneka variasi kelas, yang tentu saja disesuaikan dengan ketersediaan kocek.
Demikian juga halnya dengan panorama alam Tuktuk Siadong di Kecamatan Ambarita Kabupaten Samosir. Ini bukan berita baru lagi, bahwa Samosir diprioritaskan menjadi kawasan wisata andalan Sumatera Utara sejak kabupaten seluas 1.419,05km2 ini dimekarkan pada tahun 2003.
“Apa yang membuat wisata Parapat Danau Toba, begitu juga kawasan lainnya merosot jika dari jumlah pengunjung dari tahun ke tahun, ialah karakter masyarakat setempat yang menganut prinsip ‘sude do raja’ (semua raja),” Seperti dikatakan Ketua DRRD Kabupaten Simalungun Syahmidun S Sos.
Masyarakat Bona Pasogit masih terikat oleh sejarah yang menyangkutpautkan dirinya dengan budaya lama. Misalnya, pada masa silam mereka, khususnya mereka yang berkecimpung dalam bisnis pariwisata, tidak sedikit dari mereka merupakan keturunan raja. Bukti lain juga tersirat dari marga yang mereka lekatkan pada nama mereka yang tidak sedikir memakai embel-embel “raja” di belakangnya. Ini masih sangat sulit untuk dilepas dari mereka.
Akibatnya, mereka tidak bisa memposisikan diri mereka sebagai pelayan karena sudah terbiasa dilayani. Dampaknya, pelancong sering mengurungkan niatnya untuk datang keduakalinya. “Singkatnya, masyarakat setempat masih sulit untuk memposisikan dirinya sebagai “pelayan”.
Ini sudah terbukti. Fenomena ini dapat dibandingkan dengan pengelolaan dan perkembangan pariwisata lain di Tanah Air. Benarkan kemerosotan bisnis pariwisata Sumatera Utara khususnya Danau Toba hanya dilatarbelakangi oleh krisis BBM yang melanda negara kita atau ketidakterjaminan keamanan bagi para pelancong? Ini perlu dicermati.
Manusia sangat membutuhkan ketenangan di kala realitas kehidupan saat ini yang penuh dengan kesibukan dan tanggunjawab. Mereka butuh kedamaian lewat sajian hiburan dan wisata. Mereka butuh ketenangan dan yang paling utama mereka ingin dilayani setelah sibuk “melayani” dan penat dalam segala kesibukan urusan pekerjaaan, khususnya bagi masyarakat urban.

http://tonggo.wordpress.com/

Danau Toba Menjerit




Dulu Danau Toba menggaung baik di dalam maupun mancanegara sebagai tempat wisata yang prestisius, salah satu kebanggaan negeri ini. Gaung indahnya Danau Toba mendorong siapa pun ingin ke sana, yang hanya ditempuh melalui Bandar Udara Polonia, Medan, kurang lebih 4 jam berkendaraan mobil.Danau Toba itu berbeda dari danau lain yang ada di Asia. Danau yang terbentuk 80.000 tahun lalu dari letusan gunung berapi ini berada 906 m di atas permukaan laut sehingga temperatur di sana sejuk sepanjang tahun sekitar 20 derajat Celcius. Kedalaman Danau Toba sekitar 150 m dengan luas sekitar 1265 km2 belum termasuk pulau Samosir di tengah danau yang kelilingnya berukuran 90km, atau sekitar 8 jam dikelilingi dengan perahu motor. Pulau Samosir dicapai dengan perahu motor atau feri dari Kota Parapat hanya sekitar 30 menit. Ada juga feri berjadwal satu jam sekali, ke dan dari pulau Samosir mulai jam 07.00 –19.30 WIB. Penginapan mulai homestay sampai hotel berbintang ada, fasilitas kafé, restauran, perpustakaan sederhana, serta internet café tersedia. Fasilitas tersebut berada di desa di tengah kehidupan masyarakat tradisional pulau Samosir .Pada bukit-bukit hijau pulau Samosir terdapat air terjun yang terlihat seperti garis putih dari tengah bukit hingga ke bawah bukitnya bila dipandang dari kejauhan. Bila dilihat lebih dekat lagi ternyata merupakan semburan aliran air bening, Belum lagi pemandangan bukit dengan pohon pinus dan rumput hijau yang mengelilingi Danau Toba.Duh indah sekali , kita jadi bertanya sendiri kenapa orang tidak ke Danau Toba?Perjalanan menuju Danau Toba mulai dari Medan hingga Kota Parapat baik melalui Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar, atau rute turis mulai dari desa Pematang Purba-Karo sampai Brastagi sama menyenangkannya.Melalui Tebing Tinggi dan Pematang Siantar dapat dilihat suasana masyarakat tradisional yang religius, kebiasaan-kebiasaannya, termasuk kebiasaan makanannya. Perjalanan melalui rute turis, yakni mampir ke daerah Simarjarunjung, lalu ke rumah bolon Pematang Purba, dan melihat air terjun si Piso-Piso di Tongging, Karo dan ke pasar Brastagi menjadi perjalanan wajib untuk melengkapi wisata ke Danau Toba. Alangkah berkesan wisata di sekitar Danau Toba. Yang dewasa ini akan terbersit dalam benak adalah kenapa sepertinya sentuhan perhatian pada objek wisata di sekitar Danau Toba tidak lagi ada?Sekarang tinjaulah, sedikitnya 6 tahun sudah Danau Toba menderita karena drastisnya penurunan kunjungan turis. Beberapa sarana publik dan fasilitas di Danau Toba khususnya di tourist spots, terlihat sudah jauh di bawah standar pemeliharaan. Saat datang ke Ambarita Village sebelum menginjakkan kaki di dermaga dari perahu motor, guide akan menyarankan untuk berhati-hati melangkah di dermaga. Lantai kayu pada beberapa bagian telah lapuk, khawatir tamu terperosok jatuh.Toko-toko souvenier yang berdinding kayu tidak disenikan padahal mereka menjual barang seni sebagai buah tangan para wisatawan. Deretan toko berdinding kayu pucat yang membentuk lorong, akan menyambut kita di hampir semua tempat turis di sana. Ada rasa prihatin dari kondisi buram pertokoan ini.Di Tomok di mana sejarah makam Raja Sidabutar yang ratusan tahun berada , sudah sejak 25 tahun lalu tidak pernah disentuh oleh upaya perbaikan agar terlihat menarik, sebaliknya yang ada kesan semaunya dan penuh ketidakpedulian.Di Tongging , pemandangan di sebelah utara Danau Toba, saat mengunjungi lokasi air terjun si Piso-Piso, di sana-sini tersebar sampah, rumput yang tidak terawat, tidak ada kamar kecil dan sejenisnya untuk kepentingan umum. Orang asing pasti geleng kepala. Malas untuk kembali lagi.Sebenarnya masih ada beberapa fakta kelalaian pemeliharaan terhadap objek wisata di sana, tapi masyarakat tidak dapat disalahkan. Namun, Anda pun niscaya akan bertanya mengapa pemerintah setempat tidak ambil perduli? Di mana saat ini semua destinasi wisata bersaing terutama dalam mendatangkan inbound tourist, objek wisata tidak semestinya dibiarkan begitu saja, asal ada. Perlu peningkatan kualitas destinasi walau belum ada spot tourist yang baru . Aspek keindahan, kebersihan, dan kenyamanan telah luput dari perhatian pengelola objek wisata. Itulah aspek yang akan memikat wisatawan untuk berbondong-bondong ke Danau Toba. Maka tinjaulah Danau Toba. **
Copyright © Sinar Harapan 2003

DR. Ingwer Nommensen



DR. INGWER NOMMENSEN dilahirkan di pulau Nordsrand antara Denmark dan Jerman pada tanggal 6 Februari 1834. dia berikrar untuk menjadi seorang misionaris ketika dia sakit keras, dan memang inilah yang merupakan satu-satunya tujuan hidupnya. Setelah dididik oleh Rheinische Mission Gesselschaft (RMG), dan ditahbiskan pada bulan Oktober 1861, beliau berangkat ke Sumatera. Ia tiba di Padang pada tanggal 14 Mei 1862. rencananya adalah bekerja di kalangan orang Batak. Kesulitan yang dihadapi pada awalnya yaitu adanya larangan untuk bekerja di daerah pedalaman dan adanya komitmen sesama misionaris untuk memusatkan perhatian di daerah Tapanuli Selatan. Setelah berusaha keras, Nommensen diizinkan bekerja di daerah Barus, dan mulailah beliau melayani beberapa orang Batak dan belajar bahasa mereka.
Nommensen melakukan perjalanannya ke daerah pedalaman pada tanggal 25 Oktober 1862. perjalanan tersebut dianggap sangat berhasil. Lalu beliau pindah ke Sipirok dan di sana bertugas untuk mendirikan sebuah sekolah. Pada bulan Nopember 1863, dia mengunjungi daerah silindung. Disini dia mengahadapi masalah sifat permusuhan dari raja-raja di daerah tersebut. Namun dia bertekad untuk dapat tinggal disana, mengenal sifat orang Batak dan melayani mereka. Keteguhan hatinya untuk hidup sederhana yang bersifat penyangkalan diri, ketekunan dan kepandaiannya di bidang pengobatan menyebabkan dia dapat tinggal dengan orang Batak dan melayani merekaj, jasmani dan rohani. Rencananya adalah untuk hidup jauh sama sekali dari kehidupan perekonomian setempat dan akhirnya mendirikan suatu koloni Kristen yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
Orang-orang yang pertama, empat lelaki, empat wanita dan lima anak-anak, dibaptis oleh Nommensen pada tanggal 27 Agustus 1865. Dia juga mendirikan Huta Dame (kampung perdamaian) dengan sebuah gereja sederhana, sekolah dan beberapa rumah lain. Tantangan demi tantangan yang datang dari masyarakat, raja-raja bahkan dari lembaga Zending di Barmen dihadapi Nommensen dengan tabah dalam merealisasi cita-citanya.
Dalam sepucuk surat yang dikirimkannya ke Barmen, dia berbicara tentang suatu penglihatan yang dia peroleh tentang hari depan masyarakat yang dilayani ini :
Dalam roh saya melihat dimana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja kelompok orang Batak tua dan muda yang berjalan ke gereja-gereja ini. Di setiap penjuru saya mendengar bunyi lonceng gereja yang memanggil orang-orang beriman dating ke rumah Allah. Saya melihat dimana-mana sawah-sawah dan kebun-kebun yang telah diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung dan kediaman-kediaman yang teratur yang didalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Selanjutnya saya meluahta pendeta-pendeta dan guru-guru pribumi sumatera berdiri di panggung-panggung dan di atas mimbar-mimbar menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua . anda mengatakan bahwa saya seorang pemimpi, tatapi saya berkata : tidak, saya tidak bermimpi. Iman saya meliahat inis emua; hal ini akanterjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi miliknya dan setiapa lidaka akan mengetahui bahawa kristsuaadalah Tuhan bagi kemuliaan alalah bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun rakyat mugkin menentang saya dan mungkin membuat segala macam rencana untk menentang firman Allah dari hati mereka. Sustau aliran berkat pastilah akan mengalira atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian matahari kebenaran dalam segala kemuliaannya akan bersinar atas seluruh tepi-langit tanah batak dari selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba.
Menurut berbagai sumber, penglihatan tersebut diperolehnya ketika beliau di Siatas Barita Tarutung, tempat Salib Kasih sekarang. Ketika Nommensen meninggal pada tanggal 23 Mei 1918, gereja telah bertumbuh dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota yang dibaptis, sekolah-sekolah yang berjumlah 510 buah itu mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar dan gereja yang dipimpin oleh 34 orang pendeta Batak yang ditahbiskan, 788 orang guru Injil dan 2.200 orang penatua.

Sumber : Pedersen, P.B. 1979 Daerah Batak dan Jiwa Protestan.

RUMAH ADAT BATAK TOBA



RUMAH ADAT BATAK TOBA

Rumah adat keempat adalah rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.
Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.
Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.

Rumah Adat Nias



RUMAH ADAT NIAS

Rumah adat di Nias dibuat dengan ukuran lebih kecil dari rumah-rumah adat aslinya, adalah mewakili rumah adat dari Nias Selatan. Rumah yang berbentuk empat persegi panjang dan berdiri di atas tiang ini menyerupai bentuk perahu. Begitu pula pola perkampungan, hiasan-hiasan bahkan peti matinya pun berbentuk perahu. Dengan bentuk rumah seperti perahu ini diharapkan bila terjadi banjir maka rumah dapat berfungsi sebagai perahu. Untuk memasuki rumah adat ini terlebih dahulu menaiki tangga dengan anak tangga yang selalu ganjil 5 - 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah juga agar musuh sukar menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan.
Ruangan pertama adalah Tawalo yaitu berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan tempat tidur para jejaka. Seperti diketahui pada masyarakat Nias Selatan mengenal adanya perbedaan derajat atau kasta dikalangan penduduknya, yaitu golongan bangsawan atau si Ulu, golongan pemuka agama atau Ene, golongan rakyat biasa atau ono embanua dan golongan Sawaryo yaitu budak.
Di bagian ruang Tawalo sebelah depan dilihat jendela terdapat lantai bertingkat 5 yaitu lantai untuk tempat duduk rakyat biasa, lantai ke 2 bule tempat duduk tamu, lantai ketiga dane-dane tempat duduk tamu agung, lantai keempat Salohate yaitu tempat sandaran tangan bagi tamu agung dan lantai ke 5 harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu. Di belakang ruang Tawalo adalah ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang makan tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan disampingnya adalah ruang tidur.
Rumah adat Nias biasanya diberi hiasan berupa ukiran-ukiran kayu yang sangat halus dan diukirkan pada balok-balok utuh. Seperti dalam ruangan Tawalo yang luas itu interinya dihiasi ukiran kera lambang kejantanan, ukiran perahu-perahu perang melambangkan kekasaran. Dahulu, di ruangan ini juga digantungkan tulang-tulang rahang babi yang berasal dari babi-babi yang dipotong pada waktu pesta adat dalam pembuatan rumah tersebut.
Menurut cerita, di ruangan ini dahulu digantungkan tengkorak kepala manusia yang dipancumg untuk tumbal pendirian rumah. Tapi setelah Belanda datang, kebiasaan tersebut disingkirkan. Untuk melengkapi ciri khas adat istiadat Nias adalah adanya batu loncat yang disebut zawo-zawo. Bangunan batu ini dibuat sedemikian rupa untuk upacara lompat batu bagi laki-laki yang telah dewasa dalam mencoba ketangkasannya.

Rumah Adat Batak Karo


RUMAH ADAT BATAK KARO


Rumah adat kedua Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini juga bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :
Jabu bena kayu yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut.
Jabu sedapur bena kayu yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu, juga dinamai Sinenggel-ninggel. Ruang ini didiami oleh pihak Senina yakni saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur, karena setiap dua ruangan maka di depannya terdapat dapur yang dipakai untuk dua keluarga.
Jabu ujung kayu, dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak Beru Toa, yang bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
Jabu sedapur ujung kayu yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu Sungkun Berita.
Jabu lepan bena kayu, yakni ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh Biak Senina.
Jabu sedapur lepan bena kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena kayu, didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban.
Jabu lepan ujung kayu, didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini disebut Jabu Silayari.
Jabu sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung kayu. Ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun minum, didiami oleh Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari jabu silayari. Kedudukan Kalimbuh ini cukup dihormati di dalam adat.
Umumnya di setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau Sebayak.
Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melambangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan.
Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam. Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah.
Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai dua kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan dua kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
Rumah adat Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14 tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan laki-laki.

Rumah Adat Simalungun



RUMAH ADAT SIMALUNGUN


Rumah adat Simalungun pada dasarnya hampir sama dengan rumah adat Batak Toba, karena daerahnya terletak antara pemukiman suku Batak Karo dan suku Batak Toba. Dalam bidang arsitektur Simalungun mempunyai ciri khas pada bangunan, yaitu konstruksi bagian bawah atau kaki bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan, dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap di mana pada anjungan diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.
Di samping itu pada bagian-bagian rumah lainnya diberi hiasan berupa lukisan-lukisan yang berwarna-warni yaitu merah, putih dan hitam. Ragam hias rumah bolon Simalungun antara lain hiasan Sulempat pada tepian dinding bagian bawah, hiasan saling berkaitan. Kemudian hiasan hambing marsibak yaitu kambing berkelahi. Hiasan Sulempat dan Hambing Marsibak menggambarkan kehidupan yang kait-berkait sehingga melahirkan kekuatan dan kesatuan yang tidak tergoyahkan. Hiasan pada bagian tutup keyong dengan motif segitiga, motif cicak, ipan-ipan serta motif ikal yang menyerupai tumbuhan menjalar. Biasanya pada bagian ini diberi hiasan kepala manusia yang disebut bohi-bohi, sebagai pengusir hantu. Seperti halnya hiasan ipan-ipan yang menggambarkan segi-segi runcing mempunyai maksud untuk menghambat hantu-hantu yang akan masuk rumah.


BATAK




Batak adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara dan terkenal dengan etos kerjanya yang kuat.
Suku ini adalah salah satu suku yang paling berpengaruh di Indonesia, di mana mereka banyak yang mengisi jabatan di pemerintah dan posisi-posisi penting lainnya.
Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebut Parmalim).

Nama kumpulan
Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil dan Aceh Tenggara. Sub suku Batak adalah:
Suku Alas
Suku Kluet
Suku Karo
Suku Toba
Suku Pakpak
Suku Dairi
Suku Simalungun
Suku Angkola
Suku Mandailing

Wilayah Bermukim
Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi Kabupaten setelah Indonesia merdeka.
Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul).
Sub suku Batak Karo mayoritas berdiam di Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe, namun sebagian juga tersebar di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo kerap disebut sebagai Karo Gunung, sementara yang di Kab. Langkat dan Deli Serdang kerap disebut dengan Karo Langkat.
Sub suku Batak Alas bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Populasi mereka meningkat paska Perang Aceh dimana pada masa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, suku Batak Toba selalu mengirimkan bala bantuan. Setelah perang usai, mereka banyak yang bermukim di wilayah Aceh Tenggara.
Sub suku Batak Pakpak terdiri atas 5 sub Pakpak yaitu Pakpak Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan, bermukim di wilayah Kabupaten Dairi yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten yakni: Kabupaten Dairi (ibukota Sidikalang)dan Kabupaten Pakpak Bharat (ibukota Salak). Suku Batak Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.Suku Pakpak yang tinggal diwalayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
Sub suku Batak Simalungun mayoritas bermukim di wilayah Kabupaten Simalungun(ibukota Pematang Siantar) namun dalam jumlah yang lebih kecil juga bermukim di kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Asahan.
Sub suku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.
Sementara itu, Kabupaten Tapanuli Tengah (ibukota Sibolga)sejak dulu tidak didominasi oleh salah satu sub suku batak. Populasi Batak Toba cukup banyak ditemui di daerah ini, demikian juga dengan Batak Angkola dan Mandailing. Dalam jumlah yang kecil, Batak Pakpak juga bermukim di daerah ini khususnya Kota Barus. Hal ini dimungkinkan karena Tapanuli Tengah terletak di tepi Samudera Hindia yang menjadikannya sebagai pintu masuk dan keluar untuk melakukan hubungan dagang dengan dunia internasional. Salah satu kota terkenal yang menjadi bandar internasional yang mencapai kegemilangannya sekitar abad 5 SM-7 SM adalah Kota Barus.

Falsafah Batak
Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
Dalam pesta adat, falsafah dasar ini masih tetap dipakai kendati telah banyak penyesuaian dalam teknis pelaksanaannya.

Batak pada era modern
Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama samawi yakni islam dan kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat perang padri dimana kaum agamawan melakukan zending ke daerah ini. Perluasan penyebaran agama islam juga pernah memasuki hingga ke daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao namun tidak begitu berhasil. Islam lebih berkembang di kalangan Batak Mandailing dan sebagian Batak Angkola.
Agama kristen sendiri baru berpengaruh dikalangan Batak Angkola dan Toba setelah beberapa kali misi kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu.
Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

Sumber : Wikipedia